Pendidikan dan pengajaran memiliki arti yang berbeda. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan. Mendidik adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (KBBI, 2001:263). Orang yang mendidik inilah yang disebut pendidik.
Selanjutnya, pengajaran adalah proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan (KBBI, 2001:17). Mengajar adalah memberikan pelajaran. Orang yang mengajar (seperti guru, pelatih) disebut pengajar.
Guru adalah elemen pendidikan yang bersifat multifungsi. Guru sebagai insan pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Sebagai seorang pengajar, guru menyampaikan materi pelajaran berdasarkan tuntutan kurikulum. Namun sebagai pendidik, guru mengajarkan, menuntun, dan membimbing sikap dan tingkah laku peserta didik mengenai terutama akhlak dan kecerdasan berpikir.
Bila kita kembali mengingat ke masa lalu, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang terbit pada tahun 2007 mampu membawa para pembacanya untuk melihat potret nyata pendidikan dan ironi dunia korporasi di tengah komunitas yang terpinggirkan. Novel tersebut mampu membangkitkan semangat orang-orang yang dirundung kesulitan dalam menempuh pendidikan. Semangat anak-anak sederhana yang ulet, cerdas, dan gigih serta semangat seorang guru (Muslimah Hafsari) yang tidak mengenal kata menyerah dalam memajukan pendidikan.
Muslimah Hafsari, biasa dipanggil Bu Mus, merupakan salah satu dari sekian banyak guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan. Sebagai guru, beliau tidak hanya menjadi pengajar tetapi mampu menjadi pendidik, tepatnya pendidik berjiwa emas. Di tengah kondisi masyarakat yang miskin, beliau mampu menjadi motivator bagi peserta didiknya agar berjuang dan tidak menyerah menghadapi kondisi pendidikan di tengah arogansi dan kekuasaan materi.
Menurut Seto Mulyadi, Komnas Perlindungan Anak (dalam Laskar Pelangi, 2007:1), pendidikan adalah memberikan hati kita kepada anak-anak, bukan sekedar memberikan instruksi atau komando. Setiap anak yang memiliki potensi unggul akan tumbuh menjadi individu berprestasi cemerlang pada masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan sesungguhnya. Ini berarti, pendidikan harus diberikan dalam suasanan penuh keakraban dan kekeluargaan.
Seorang pendidik berjiwa emas seperti Bu Mus, berjuang dengan gigih dan tulus demi menujudkan hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Meskipun berada di tengah lingkungan masyarakat miskin dan terpinggirkan, beliau mampu membangkitkan semangat anak-anak didiknya untuk bertahan dan membuktikan kepada masyarakat bahwa kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan. Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan metode pendidikan yang tepat guna.
Pendidikan harus berlangsung dalam suasana keluargaan. Pendidik sebagai orang tua dan peserta didik sebagai anak. Pendidikan dilakukan dengan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Moral pendidik bukanlah sekedar pegawai pemerintah tetapi sebagai orang tua yang mengasuh anaknya. Itulah yang disebut pendidik berjiwa mulia, pendidik berjiwa emas. Rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, serta suasana kekeluargaan itulah yang harus kita bangkitkan dan hidupkan kembali.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan suasana kekeluargaan itu disebut dengan sistem among. Selanjutnya, para pendidik yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut dengan pamong. Itulah pendidikan Indonesia yang sesungguhnya.
Sebagai insan pendidik, guru sering dihadapkan pada potret buram dunia pendidikan. Memang, sedikit demi sedikit potret buram ini mengalami perubahan. Misalnya, pemerintah semakin memberikan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan Indonesia. Melalui anggaran dana pendidikan, banyak sekolah-sekolah, guru-guru maupun siswa-siswa yang mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sayangnya, hal ini tidak dirasakan secara merata oleh semua elemen pendidikan yang ada di Indonesia. Masih banyak bangunan sekolah yang membutuhkan perbaikan, guru-guru honorer atau sukarela di daerah terpencil yang belum mendapatkan gaji yang layak, serta para siswa yang berada di bawah garis kemiskinan.
Di samping itu, faktor geografis turut menjadi bagian permasalahan yang cukup mendasar. Jika sekolah terletak di daerah terpencil, akses yang serba sulit maka dapat dipastikan proses berlangsungnya pendidikan akan menemui hambatan. Hal ini dapat terlihat dari kondisi bangunan sekolah yang memprihatinkan, kurangnya tenaga pengajar sehingga berdampak pula pada kurangnya semanagat siswa untuk bersekolah. Oleh sebab itu, untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya sangat diperlukan kehadiran sosok pendidik yang benar-benar mampu membawa angin segar bagi perkembangan dunia pendidikan. Artinya, sebagai pendidik, guru mampu mendedikasikan dirinya secara utuh kepada dunia pendidikan tanpa memandang warna kulit, kekayaan, dan komunitas peserta didiknya. Hal itu juga berarti bahwa guru bersedia ditempatkan di mana saja tanpa memandang kestrategisan letak sekolah, kelancaran transportasi, atau keterpencilan sebuah daerah.
Kehadiran sosok pendidik seperti ini sangat diharapkan oleh dunia pendidikan di Indonesia, apalagi di tengah kondisi pendidikan di Indonesia yang belum merata. Tidak hanya ada satu orang Bu Mus, namun masih banyak ribuan Bu Mus lainnya yang sedang berjuang bersama anak-anak didiknya. Mereka bertahan melawan kemiskinan dan kebodohan dengan menggunakan metode pendidikan yang tepat guna.
Metode pendidikan tepat guna artinya dapat memanfaatkan segala kekurangan dan kelemahan serta mengubahnya menjadi sebuah kelebihan dan potensi yang patut dibanggakan di hadapan semua orang. Metode seperti ini hanya dapat dikembangkan dalam suasana kekeluargaan, yaitu ketika seorang guru tidak hanya berfungsi sebagai pegawai pemerintah tetapi juga sebagai orang tua yang mengasuh anaknya. Sebaliknya, peserta didik tidak hanya sekedar orang yang menimba ilmu tetapi juga sekaligus mampu menjadi seorang anak bagi gurunya.
Pemerintah sebagai penanggung jawab dunia pendidikan juga sepantasnya memikirkan perjuangan pendidik-pendidik berjiwa emas seperti Bu Mus. Mereka rela berjuang dengan gigih tanpa menghiraukan pandangan dunia yang tidak pernah memedulikan nasib anak-anak Indonesia. Mereka berjuang dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Meskipun letak sekolah terpencil, bangunan sekolah tidak layak pakai, sarana dan prasarana tidakn lengkap, ditambah pula ekonomi masyarakat yang miskin, tidak lantas menyurutkan atau memadamkan semangat mereka untuk mendedikasikan diri pada bangsa dan negara.
Kondisi yang sulit malah membangkitkan semangat mereka untuk terus berjuang dan membuktikan pada semua orang bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil jika dilaksanakan dengan hati ikhlas, tulus, dan mulia. Merekalah yang pantas disebut pendidik berjiwa emas.
Oleh : Meicy Asnil S.Pd ( Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 4 Pariaman)
Beri Komentar